September 30, 2004

Pendidikan : Jangan dijadikan sapi perah

Memang kondisi bangsa ini lagi tidak dalam keadaan mengenakkan, menguntungkan. Disana-sini sering sekali kita temui orang-orang yang mengeluh. Tidak saja yang memang pantas mengeluh - menderita karena tekanan ekonomi atau sosial - tapi juga yang 'tampak' berhasil atau sukses. Mereka adalah guru, dosen, pengusaha, wiraswasta, profesional (karyawan), dan bahkan para pejabat. Mengeluh karena gajinya kecil, pendapatan kurang memadai, iklim bisnis yang tidak kondusif, dan lain sebagainya. Akhirnya mencari celah dengan berbagai cara untuk mencari atau meningkatkan keuntungan pribadi.

Padahal, betapa banyak orang yang menginginkan status tersebut? Tapi mengapa banyak dari kita yang memiliki status tersebut tetap juga mengeluh?

Inilah kesalahan paragidma sebuah kesuksesan. Dimana sukses telah beralih ke sisi materialistik. Sedangkan materialistik itu sendiri sesuatu yang sangat relatif, semu seperti bayangan kita sendiri. Semakin dikejar, semakin jauh saja dari keinginan kita, yang akhirnya kita tak akan pernah bisa menggapainya.

Sayangnya, kita juga terlalu berfikiran pendek dalam memandang sebuah kesuksesan - walaupun dengan parameter materi. Seolah-olah jika kita bisa meraup keuntungan sebanyak-banyaknya, maka itulah kesuksesan kita. Padahal, kesuksesan yang ditopang dengan mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya dari keadaan yang tidak semestinya, adalah kesuksesan yang instan, yang amat rapuh dan pasti akan berakibat buruk di kemudian hari. Contohnya jika sesuatu yang dijual dengan tidak melalui mekanisme pasar yang sebenarnya, seperti contohnya - yang baru-baru ini ramai di media massa - adalah memanipulasi kebijakan pengadaan buku sekolah.

Nah, saat ini kita sudah melihat akibat buruknya. Sekolah tidak lagi bisa dinikmati oleh setiap warga negara. Sudah menjadi kebutuhan mewah, dan hanya orang tua yang berduit yang bisa menyekolahkan anaknya di sekolah yang layak. Karena sebagian besar keuangan keluarga untuk sekolah anak akhirnya daya beli mereka turun, dan menghambat roda ekonomi yang lain.

Kedua, paragidma tersebut telah menyebabkan para pejabat pendidikan kini sudah tidak lagi terhormat. Jabatan -- terutama di bidang pendidikan -- yang sebenarnya kedudukan terhormat karena bertanggung jawab terhadap pencerdasan bangsa, kini tidak jauh berbeda dengan para calo, kuli dan pengemis, karena mengais-ngais rejeki dari orang yang menderita (orang tua).

Ketiga, iklim usaha sudah menjadi tidak sehat. Dengan tidak sehatnya iklim usaha, kualitas produk juga perlu dipertanyakan, karena bisa kurang diperhatikan. Yang dipentingkan adalah relasi dan koneksi. Haruskah kualitas anak didik yang akan dikorbankan?

Keempat, benarkah perusahaan yang mengambil keuntungan tersebut juga layak disebut perusahaan sukses? Karena telah berhasil mengeruk keuntungan yang besar di sektor pendidikan? Karena bisa memanjakan para pejabat pendidikan? Karena tetap bisa mengeruk keuntungan walau diatas keterpaksaan (para wali murid)?

Saya yakin, kesalahan ini tidak terletak pada salah satu pihak, baik pejabat dinas pendidikan, sekolah, ataupun perusahaan penerbit. Kesalahan ini sebenarnya bersumber dari teori atau paradigma kesuksesan itu sendiri. Arti kesuksesan telah begitu menyempit dan menyesatkan, sehingga merugikan banyak pihak.

Adalah sebuah kewajaran, jika semua orang ingin sukses. Tapi, marilah kita redifinite (mendifinisikan kembali) arti sukses itu sendiri. Karena sukses yang sebenarnya adalah jika kesuksesan tersebut ditopang dengan pondasi yang cukup. Walau secara sederhana sukses itu adalah berhasil, tapi bagaimana agar keberhasilan tersebut juga berhasil dalam jangka panjang. Keberhasilan sejati, yang tidak saja mencukupi dalam skala materi, tapi juga memuaskan batin.

Saya tahu ini idealis, ditengah kondisi lingkungan bisnis dan birokrasi yang tidak bersahabat seperti ini. Tapi saya yakin, jika semua pihak betul-betul memahami arti kesuksesan, maka lambat laun kita akan mampu mengadakan perubahan.

Selain itu, ada baiknya kita belajar membedakan kebutuhan dan keinginan. Dalam kondisi negara kita yang lagi sekarat ini, marilah kita bersyukur jika kebutuhan kita sudah terpenuhi. Segala keinginan (acapkali tidak berbeda dengan nafsu), akan selalu menggiring kita untuk mencari jalan-jalan yang tidak semestinya. Dan hal itu akan semakin membuat negara kita tidak dapat memulihkan diri dan sulit bersaing dengan negara lain.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home